Senin, 02 Desember 2013

Eloknya Jalak Bali di Nusa Penida


Gudang Burung - Pagi hari di Pulau Nusa Penida kini ada pemandangan baru. Tak sulit menjumpai burung jalak bali bermain-main; di dahan kering, belakang pura (Pura Puseh), hingga di ketinggian pohon kelapa.

Pemandangan seperti itu ditemui di Kecamatan Klungkung, Bali. Sebelumnya, Kompas pun melihat beberapa ekor jalak bali (Leucopsar rothschildi) bermain-main di pepohonan kelapa, halaman depan Hotel Ring Sameton di sekitar permukiman.

Jenis burung dilindungi dan berkategori apendiks I CITES itu hasil pelepasliaran tahun 2006. Meski secara administratif Nusa Penida masuk wilayah Provinsi Bali, jalak bali atau curik bali hanya ditemui di Taman Nasional Bali Barat.


Nusa Penida bukan habitat asli burung berukuran sekitar 25 sentimeter itu. Di tempat aslinya, curik bali hanya berjumlah puluhan ekor.

Pelepasliaran waktu itu mengundang perdebatan di kalangan konservasionis dan pemerhati burung. Meski begitu, tahun 2006 tetap dilepasliarkan 65 jalak bali di Pulau Nusa Penida di timur Pulau Nusa Lembongan. Tahun 2011 dilepas lagi 10 ekor. Hasil survei tahun 2012, diperkirakan jumlahnya 100-200 ekor.

”Kunci keberhasilan adalah dukungan masyarakat sini,” kata I Gede Nyoman Bayu Wirayudha, Direktur Friends of the National Parks Foundation.

Sejak awal menjalankan proyek pelepasliaran jalak bali ke Nusa Penida, hal pertama yang dilakukannya adalah mendekati kelompok masyarakat adat. Melalui pendekatan intens, masyarakat 25 desa adat (kini 46 desa adat) bersepakat membuat awig-awig atau peraturan adat.

Masyarakat dilarang menangkap atau membunuh segala jenis burung, terutama burung curik bali. Jika melanggar, dipaksa membayar denda hingga dilakukan upacara adat dan dikucilkan masyarakat. Itu tak hanya berlaku bagi masyarakat asli Bali. Warga luar Bali yang kedapatan menangkap burung di Nusa Penida didenda.

Sanksinya bervariasi di setiap desa. Di Desa Ped, misalnya, sanksi bagi penangkap burung sebesar harga burung di pasaran dan burung yang ditangkap wajib dilepas. ”Kalau burung mati atau sudah dijual, dendanya dua kali lipat,” kata Bayu.

Pada awal penerapan awig-awig, tahun 2006-2007, di Desa Ped, seorang warga pernah didenda dan dipaksa minta maaf karena mencuri burung tekukur.

0 komentar:

Posting Komentar