Gudang Burung - Kondisi hutan primer di di Pulau Sumba, NusaTenggara Timur kini semakin berkurang. Data Dirjen Planologi Kehutanan tahun 2009 silam menyatakan bahwa hutan primer hanya tersisa sekitar 4,5% dari keseluruhan daratan. Sementara, ketika pertama kali dipetakan tahun 1927 silam, hutan primer di kawasan ini tahun 1927, wilayah hutan primer mencapai 55%.
Sebagai salah satu kawasan utama burung endemik kawasan Wallacea, hal ini memberi dampak signifikan terhadap kelangsungan hidup berbagai jenis burung di pulau ini. Jenis paruh bengkok atau kelompok burung yang masuk dalam keluarga Psittacidae misalnya, pergerakannya menjadi semakin sempit karena habitatnya mengecil. Sebut saja perkici pelangi (Trichoglossus haematodus fortis), kakatua sumba, nuri bayan (Eclectus roratus cornelia), nuri pipi-merah (Geoffroyus geoffroyi floresianus) dan betet-kelapa paruh-besar (Tanygnathus megalorynchos sumbensis).
Hal serupa juga terjadi dengan gemak sumba (Turnix everetti), yang sudah tentu endemik Sumba. Hidup burung berbulu punggung merah-karat dan putih ini terancam akibat habitat alaminya berupa semak dan padang rumput terbakar.
Terkait hal ini, salah satu lembaga yang bergerak di bidang pelestarian berbagai jenis burung di tanah air, Burung Indonesia menempatkan Sumba sebagai salah satu lokasi utama proyek kerja mereka. “Sumba merupakan daerah yang sangat penting bagi burung. Burung Indonesia telah bergiat di Sumba sejak 1992” ungkap Ani Mardiastuti, Ketua Dewan Burung Indonesia, pada acara Merayakan Keragaman Burung di Indonesia, di Anakalang, Sumba Tengah tanggal 18 Oktober 2013 silam dalam rilis mereka.
Ani menjelaskan, kegiatan pelestarian burung kakatua sumba, penyelesaian tata batas seluruh desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Manupeu Tanadaru, dan kurikulum muatan lokal “Hutan dan Burung di Pulau Sumba” merupakan wujud nyata kerja Burung Indonesia di Sumba. “Dukungan masyarakat Sumba dan seluruh masyarakat Indonesia sangat dibutuhkan dalam upaya pelestarian seluruh jenis burung dan habitatnya di Indonesia” jelas Ani.
Pulau Sumba adalah salah satu dari 23 Daerah Burung Endemik di Indonesia. Sumba juga memiliki enam Daerah Penting bagi Burung (DPB) yang dua diantaranya berstatus taman nasional: Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Taman Nasional Manupeu Tanadaru. Sementara, empat DPB lainnya berstatus hutan lindung.
Laporan White & Bruce (1986) menyebutkan, sejarah eksplorasi ortnithologi di Sumba telah dimulai akhir abad ke-19 kala H.F.C. Ten Kate (1891-1892) mengunjungi Sumba dan beberapa pulau lain di Nusa Tenggara. Tak lama kemudian, tahun 1896, A.H. Everett yang menjenguk pulau ini.
Eksplorasi ini dilanjutkan oleh K.W. Dammerman tahun 1925. Kemudian G.H.W. Stein pada 1932, dan E.R. Sutter yang mengadakan ekspedisi khusus pada 1949. Terakhir, catatan White & Bruce mengungkapkan bahwa eksplorasi dilakukan oleh Food and Agriculture Organization (FAO)/United Nations Development Programme (UNDP) tahun 1979.
Sementara, informasi berupa catatan hasil kunjungan ke Sumba mulai ada pada dekade 1980-an. Umumnya berupa kegiatan di daerah Lewa, Luku Melolo, Panapa, Manupeu, maupun daerah-daerah pesisir pulau. Penelitian jenis tunggal seperti julang sumba (Aceros everetti) atau kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) mulai intensif dilakukan di penghujung 90-an. Tak ayal, keunikan burung yang ada di Sumba ini, membuat para pengamat burung dunia ingin langsung melihatnya.
0 komentar:
Posting Komentar